Minggu, 20 Juli 2008

Seharusnya AFI Kaltim sdh Menang tanpa Putaran Ke 2

Awang Faroek Minta Pendukungnya Tenang
Senin, 21 Juli 2008 | 11:16 WIB

JAKARTA, SENIN - Calon Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Awang Faroek Ishak mengimbau pendukungnya untuk tetap tenang menyikapi fatwa Mahkamah Agung (MA) terkait polemik hasil Pilkada Kaltim pada 26 Mei 2008.

"Pendukung jangan reaktif, tetap tenang tetapi tetap waspada," katanya kepada pers di Senayan Jakarta, Senin menanggapi fatwa MA tanggal 15 Juli 2008 yang meminta KPU Provinsi Kaltim agar seluruh proses Pilkada Kaltim mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan bukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.

Awang mengemukakan, semua pihak harus taat kepada hukum. Karena itu, fatwa MA semestinya dihormati. "Ini negara hukum. Ketentuan manalagi yang bisa digunakan? Keputusan MA tersebut harus dihormati semua pihak, terutama KPU Kaltim," katanya.

Awang mencalonkan diri sebagai gubernur Kaltim didukung 14 partai, termasuk PPP, PAN, Partai Demokrat, PBB, dan PDS. Pasangan Awang Faroek Ishak-Faid Wajdy meraih suara terbesar, 26.99 persen tetapi KPU Kaltim akan menyelenggarakan putaran kedua.

"Saya tidak takut putaran kedua. Tetapi, kalau satu putaran saja sudah memenuhi ketentuan UU, mengapa mesti ada putaran kedua," katanya.

Penyelenggaran pilkada putaran kedua akan semakin memberatkan anggaran, apalagi Kalimantan Timur baru saja membiayai Pekan Olahraga Nasional yang menghabiskan Rp 4,5 miliar lebih.

Dana Rp 110 miliar yang diajukan KPU Kaltim untuk membiayai pilkada putaran kedua sebaiknya dialihkan untuk mengatasi persoalan kemiskinan atau kegiatan lain yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.

MA telah mengeluarkan fatwa bernomor 123/KA/MA/VII/2008 tanggal 15 Juli 2008 yang ditandatangani Ketua MA Bagir Manan.

Fatwa MA tersebut berisi empat hal. Pertama, menerangkan proses awal hingga pemungutan suara yang dilangsungkan secara serentak pada 26 Mei 2008 menggunakan UU No 32/2004, UU No 22/1999, dan PP No 06/2005.

Kedua, MA menunjukkan adanya inkonsistensi dalam menerapkan UU karena penghitungan suara tidak menggunakan UU No 32/2004, tetapi UU No 12/2008, padahal sejak awal seluruh proses pilkada menggunakan UU No 32/2004.

Ketiga, MA menggariskan apabila sejak awal didasarkan pada UU No 32/2004 yang sudah sampai pada tahap selesainya pemungutan suara, harus secara konsisten menerapkan UU No 32/2004.

Menurut MA, sekali suatu pilihan hukum (choice of law) disiapkan, semua proses dan keputusan harus pula didasarkan pada pilihan hukum tersebut. Penyimpangan akan bertentangan dengan dasar pilihan hukum (choice of law principle).

Keempat, MA dalam suratnya juga menegaskan bahwa pemakaian dasar hukum yang berbeda antara proses pelaksanaan pemungutan suara dan penentuan calon terpilih, dapat mengurangi dan mengesampingkan azas kepastian hukum yang diharapkan dari penyelenggaraan Pilkada yang benar dan taat hukum.

Kembalikan

Sementara itu, Ketua DPP Partai Demokrat (PD) Ruhut Sitompul menyatakan, dengan fatwa MA tersebut tak ada pilihan lain bagi KPU Kaltim kecuali mengembalikan semua tahapan proses Pilkada Kaltim sesuai UU No 32 Tahun 2004.

Artinya, melalui fatwa MA tersebut secara otomatis Pilkada Kaltim hanya berlangsung satu putaran. "Dengan hanya satu putaran, maka pasangan Awang Faroek Ishak-Farid Wajdy menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim terpilih periode 2008-2013 karena meraih suara terbanyak melebihi ketentuan minimal pada UU No.32/2004, yaitu 25 persen ," katanya.

UU No 12/2008 mengharuskan pemenang pilkada adalah pasangan yang berhasil mengumpulkan 30 persen plus satu suara. UU ini yang kemudian diterapkan KPU saat menetapkan perolehan suara semua pasangan calon. Karena itu, sebagai pengumpul suara terbanyak pertama dan kedua, Awang-Farid dan Amins-Hadi masih harus bertarung dalam putaran kedua.

Mengingat kemenangan itu dihambat KPU Kaltim, Awang mengajukan permintaan fatwa ke MA 10 Juni 2008 perihal hasil rekapitulasi hasil perolehan suara Pilkada Kaltim 2008.

Menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra, semestinya KPU Kaltim tidak dalam posisi menafsirkan UU, tapi menerapkan UU.

"KPU adalah pelaksana UU bukan penafsir UU. Terlebih lagi tidak mungkin dalam satu proses hukum menggunakan dua produk hukum," kata Isra.

Pakar hukum tata negara dari UGM Andi Irma Putra Sidin menegaskan, Pilkada Kaltim semestinya tunduk kepada UU No 32/2004, bukan UU No 12/2008 karena masa jabatan gubernur Kaltim habis Juli 2008. Semestinya jangan ada yang mempermainkan penyelenggaraan pemilu karena biaya dan risiko politiknya sangat besar.

"Keputusan KPU Kaltim sangat aneh, mengapa di akhir tahapan menggunakan UU No 12 Tahun 2008, tapi pada awalnya yang digunakan UU 32 Tahun 2004," katanya.

Tidak ada komentar: