Jumat, 06 Maret 2009

Status Caleg Hilang Karena Mahalnya Cetak Surat Suara

Surabaya | -Sia-sia saja tiket di tangan bila kereta ternyata sudah berlalu. Kalimat ini agaknya cocok untuk melukiskan perjuangan Plt Ketua PPP Jatim Musyafa’ Noor untuk mendapatkan kembali haknya menjadi calon anggota legislatif (caleg). 

Setelah dua bulan berjuang, Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) akhirnya mengabulkan gugatan Musyafa’. Tapi putusan ini menjadi tidak bermakna apa-apa. Sebab surat suara yang berisi nama-nama caleg sudah telanjur dicetak, dan tentu saja tanpa ada nama Musyafa’ Noor di dalamnya.

KPU sebenarnya sudah bersedia menyusulkan nama Musyafa’. Syaratnya, pria kelahiran Tuban ini harus mengganti biaya cetak surat suara yang baru. Nilainya mencapai sekitar Rp 750 juta. “Ini terlalu berat. Saya tidak sanggup. Ya mungkin, saya memang harus merelakan (status caleg hilang),” tutur Musyafa’ Noor saat ditemui Selasa (3/3).

Ongkosnya menjadi mahal, karena surat suara yang harus diganti jumlahnya mencapai jutaan lembar, sesuai jumlah pemilih yang tersebar di Kabupaten Bojonegoro-Tuban. Musyafak mencalonkan diri menjadi anggota DPRD Jatim dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jatim IX (Bojonegoro-Tuban). 

Mengapa bukan KPU yang harus menanggung beaya? “Karena kesalahanya bukan murni dari KPU. Tapi dari oknum partai (PPP), dan ini memang rekayasanya pengurus semasa pimpinan Farid Al-Fauzi (mantan ketua DPW PPP Jatim),” ungkapnya.

Musyafak lalu menceritakan, nama hilang dari daftar caleg karena ada berkas yang kurang, yaitu ijazah SMA. Musyafa’ memang hanya melampirkan ijazah S-1. Berkas ini pula yang digunakanya ketika menjadi caleg Pemilu 2004. Tapi kali ini ternyata KPU mempertanyakanya. 

Sebelum DCT (daftar calon tetap) ditetapkan, KPU sebenarnya sudah mengirim surat meminta agar berkas tersebut dilengkapi. Celakanya, Musyafa’ tak pernah mengetahui hal itu. Surat KPU itu diterima partai. “Saya baru tahu ada masalah, ya ketika nama saya tidak muncul di DCT. Setelah tahu persoalannya, saya bawa ijazah SMA ke KPU. Tapi KPU tidak bisa mengubah karena sudah menjadi DCT,” tegasnya.

Musyafa’ mengaku, dirinya sengaja akan dijadikan tumbal oleh kepemimpinan Ketua PPP Jatim Farid Al-Fauzi ketika itu. Ini karena Musyafa’ dianggap sebagai gerbong pendukung Masjkur Hasyim, Ketua PPP yang dikalahkan Farid Al-Fauzi. 

Perlakuan serupa juga menimpa sejumlah orang lama PPP di DPRD Jatim yang kini mencalegkan lagi. Mirdasy misalnya yang mengajukan pencalegan dari dapil binaannya, Dapil VII, tiba-tiba dipindah ke Dapil X. Begitu pula Ketua DPC PPP Lumajang Jamal Abdullah Al-Katiri yang maju dari daerahnya, Dapil Jatim IV (Lumajang-Jember) dipindah ke Dapil VI (Malang Raya). Lalu Mujahid Anshori yang sudah 15 tahun membina Dapil XI (Madura) dipindah ke Dapil VII (Ngawi-Trenggalek-Ponorogo-Pacitan-Magetan). “Yang tumbal betulan saya,” ujarnya. 

Kebijakan ini pula yang kemudian menjadi salah satu penyebab gerakan melengserkan Farid Al-Fauzi, beberapa bulan lalu

Musyafa’ mengaku, kalau saja tahu sebelumnya, dirinya pasti jauh hari harus sudah memilih untuk maju di DPRD Tuban saja. Itu lebih menjamin karena ia sendiri menjabat Ketua DPC PPP Tuban. Musyafa’ memilih ke DPRD Jatim dengan alasan untuk regenerasi di Tuban. “Ketika tahu saya tidak jadi caleg, pengurus dan konstituen di Tuban banyak yang protes. Mereka prihatin, kenapa bisa begini,” katanya.

Musyafak mengaku tak akan larut dalam kekecewaan. Ia menyadari jabatan ketua DPC Tuban dan Plt DPW PPP Jatim sama dengan ikon partai, yang tidak seharusnya hilang dari ramainya pesta demokrasi. “Tapi sudahlah, saya percaya ada hikmah besar di balik semua ini,” jelasnya.

“Paling tidak, hikmahnya ya saya bisa konsentrasi penuh membesarkan PPP Jatim di masa mendatang. Ini juga tugas yang tidak kalah berat dibanding tugas di dewan,” tegas mantan Wakil Ketua Komisi B (Perekonomian) DPRD Jatim tersebut. 

Tidak ada komentar: